Bukan Sekadar Rekreasi Menuntut Kebun Binatang yang Lebih Manusiawi

Kebun binatang sering kali menjadi tempat rekreasi pertama yang dikenalkan kepada anak-anak. Tempat kita belajar bahwa gajah punya belalai panjang, harimau bergaris loreng, dan burung unta tak bisa terbang. Namun, dengan meningkatnya kesadaran ekologi dan etika satwa, muncul pertanyaan mendalam yang tak bisa dihindari: apakah kebun binatang benar-benar menjadi ruang konservasi, atau hanya kandang raksasa yang disulap menjadi destinasi wisata?

Di tengah krisis iklim, deforestasi, dan ancaman kepunahan spesies, keberadaan kebun binatang seharusnya menjadi solusi bukan sekadar atraksi. Sayangnya, tidak semua kebun binatang berhasil menjalankan misi konservasi yang selama ini mereka gembar-gemborkan. Banyak yang masih terjebak dalam paradigma lama: satwa dikurung, diberi makan, dan dipamerkan.

Padahal, konservasi sejatinya adalah upaya pelestarian satwa dan habitatnya secara utuh. Kebun binatang seharusnya menjadi tempat perlindungan spesies terancam, pusat edukasi publik, sekaligus ruang penelitian akademik. Namun, kenyataan di lapangan jauh dari ideal. Masih banyak kebun binatang yang memiliki kandang sempit, minim fasilitas enrichment, dan tanpa program edukasi yang memadai. Label “penangkaran” sering kali hanya menjadi hiasan spanduk, sementara banyak satwa menunjukkan perilaku abnormal akibat stres dan kondisi lingkungan yang buruk.

Sosok zookeeper atau penjaga satwa pun sering luput dari perhatian. Mereka bekerja dari pagi hingga malam untuk memastikan kesehatan fisik dan mental hewan-hewan yang mereka rawat, mengenalnya layaknya sahabat. Sayangnya, profesi ini masih kerap dipandang sebelah mata, dengan pelatihan terbatas, gaji yang tidak layak, dan beban kerja yang berat. Padahal, tanpa mereka, konsep konservasi tak akan pernah bisa berjalan.

Tentu, kita tidak bisa menutup mata terhadap sisi positif kebun binatang. Dalam beberapa kasus, mereka berhasil menyelamatkan spesies langka seperti Jalak Bali atau Harimau Sumatra. Mereka juga menjadi sarana edukasi langsung dan wadah riset ilmiah. Namun, sisi gelapnya juga tak kalah nyata: satwa yang tertekan, pengunjung yang tidak mendapat pemahaman berarti, dan dominasi orientasi hiburan yang mengalahkan visi pelestarian.

Pertanyaannya haruskah kita menutup semua kebun binatang? Tentu tidak. Tapi kita juga tak bisa membiarkannya berjalan tanpa evaluasi. Kebun binatang perlu direformasi dari sekadar tempat hiburan menjadi pusat edukasi dan empati. Dari penjara satwa menjadi jembatan antara manusia dan alam.

Kini saatnya kebun binatang tak lagi menjadi sekadar tontonan, melainkan pusat penyadaran. Mahasiswa punya peran penting untuk mendorong transformasi ini.

Sebagai mahasiswa, kita berada di posisi strategis untuk ikut mengambil bagian dalam perubahan. Kita bisa bersuara lewat tulisan, riset, konten digital, atau keterlibatan langsung. Kita dapat menuntut kebun binatang yang lebih manusiawi, lebih edukatif, dan lebih transparan. Kita juga bisa mendorong kampus menjalin kerja sama dalam program magang, penelitian, dan advokasi konservasi.

Karena pada akhirnya, menyelamatkan satwa bukan hanya tugas ahli biologi atau pemerintah. Ini adalah tanggung jawab kita semua terutama generasi muda yang akan mewarisi bumi yang kian rapuh ini.

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misteri Beruang Madu di Ragunan: Satwa Langka yang Wajib Kamu Kenali!

Hanya di Maret! Tiket Faunaland Mulai Rp70 Ribu, Yuk Ajak Sahabat atau Keluarga Mu!!

Sosok di Balik Kesejahteraan Satwa yang Jarang Dikenal