Jerapah Ragunan, Legenda Hidup di Balik Leher Menjulang
![]() |
Sumber: dok.pribadi |
Menjadi salah satu satwa paling ikonik di Kebun Binatang Ragunan, jerapah bukan hanya menarik karena fisiknya yang unik, tapi juga karena kisah panjang yang ia wakili.
Ragunan, Jakarta Selatan — Di antara hiruk-pikuk pengunjung dan semarak satwa lainnya, jerapah tetap menjadi bintang yang tak tergantikan di Taman Margasatwa Ragunan. Dengan tinggi menjulang dan gerak yang tenang, hewan asal Afrika ini bukan hanya menarik secara fisik, tapi juga menyimpan kisah panjang tentang konservasi, edukasi, dan nostalgia yang dirasakan oleh banyak generasi pengunjung. Tak berlebihan jika publik menyebutnya sebagai salah satu legenda hidup Ragunan.
Ia adalah jerapah (Giraffa camelopardalis), ikon tak tergantikan dan hewan legendaris Ragunan yang keberadaannya bukan hanya sekadar koleksi fauna, tapi juga penjaga sejarah, ingatan, dan cinta manusia terhadap alam liar.
Sebagian orang mengenal jerapah hanya dari bentuknya yang tinggi
menjulang, tapi data dari papan edukatif Ragunan mengungkap keajaiban lain yang
lebih dalam. Jerapah adalah anggota kelas Mammalia, masuk dalam bangsa Artiodactyla
dan suku Giraffidae. Tingginya bisa mencapai 5,7 meter,
dengan berat tubuh 1.180–1.930 kg. Namun, yang paling ikonik tentu saja
lehernya yang luar biasa: panjangnya bisa 2–2,4 meter, tetapi uniknya
hanya memiliki 7 ruas tulang leher, sama seperti manusia!
Leher ini bukan cuma alat makan. Dalam dunia jerapah, leher juga
digunakan untuk “necking” semacam adu kekuatan antara jerapah jantan dengan
cara saling memukul menggunakan leher mereka. Sebuah pertarungan yang tampak
tenang tapi sebenarnya penuh strategi dan kekuatan.
Di Ragunan, jerapah tak hanya hidup mereka membangun persona. Pengunjung
dan keeper mengenal mereka seperti karakter dalam novel kampus yang sudah
akrab: Gino, si jantan yang karismatik, dan Salsa, betina lembut yang sering
menjadi bintang di balik daun-daun. Gino terkenal karena sering menjulurkan
lidah ungunya yang bisa mencapai 45 cm untuk menyambut daun dari pengunjung.
Salsa? Ia tipe yang lebih pemalu, tapi kerap tampil “sempurna” saat kamera
diarahkan ke arahnya.
“Saya udah 11 tahun jagain jerapah, dan mereka nggak pernah bosan diliat.
Anak-anak kecil selalu tanya, ‘Kok lidahnya ungu, Om?’” tutur Pak Dani, keeper
senior yang merawat Gino sejak kecil.
Jerapah bukan sekadar penghuni kandang Ragunan, mereka adalah penanda
waktu dan simbol nostalgia. Tak terhitung berapa banyak keluarga yang punya
foto dengan jerapah Ragunan dalam bentuk album cetak hingga unggahan Instagram.
Banyak pengunjung datang dan berkata, “Waktu kecil aku ke sini, sekarang aku
ajak anakku.”
Data tidak resmi dari Ragunan menunjukkan bahwa jerapah merupakan salah
satu satwa dengan tingkat interaksi dan unggahan media sosial tertinggi. Ini
membuktikan bahwa mereka bukan hanya ada secara fisik, tapi juga hidup dalam
kesadaran digital masyarakat.
Jerapah betina memiliki masa kebuntingan yang tergolong panjang: 400–460
hari. Mereka biasanya melahirkan pada bulan Mei hingga Agustus, dan
hanya berkembang biak setiap 20–30 bulan. Tak heran jika pertumbuhan
populasi jerapah di penangkaran tidak bisa cepat. Betina baru matang pada umur 3–4
tahun, dan jantan 4–5 tahun.
Dalam konteks konservasi, jerapah termasuk satwa “terancam”.
Kehadiran mereka di Ragunan bukan sekadar tontonan, tapi juga bagian dari misi
menjaga keberlangsungan spesies.
“Setiap kelahiran jerapah di Ragunan adalah peristiwa penting. Kita
dokumentasikan semua prosesnya,” jelas Pak Dani.
Di balik semua data sains dan fakta biologis, jerapah tetap memiliki
ruang khusus dalam hati manusia. Mereka mengajarkan tentang ketenangan dalam
keagungan, kesabaran dalam langkah panjang, dan kemampuan untuk tetap menjadi
pusat perhatian tanpa perlu bersuara.
Di tengah dunia yang cepat dan bising, jerapah berdiri sebagai lambang
keteduhan. Mereka mengajarkan bahwa untuk menjadi besar, seseorang tidak perlu
tergesa.
Mengapa Jerapah Adalah Legenda
Tidak semua hewan bisa disebut legenda. Legenda adalah mereka yang hidup
dalam ingatan, disayangi lintas generasi, dan menjadi simbol lebih dari sekadar
spesies. Di Ragunan, jerapah telah menjadi itu semua. Mereka bukan hanya “ada” mereka
meninggalkan jejak emosional pada setiap orang yang menatap mata tenangnya dari
balik pagar kandang.
Dan selama masih ada anak kecil yang kagum, mahasiswa yang menulis, atau
fotografer yang menunggu momen, legenda jerapah Ragunan akan terus hidup. Dalam
bayangan daun, dalam langkah tenang mereka, dan dalam setiap hati yang belajar
mencintai alam.
Komentar
Posting Komentar