Orang Utan: Penjaga Hutan yang Terancam Punah
![]() |
Sumber: gembiralokazoo.com |
27 Mei 2025 — Tubuhnya bergelantungan lincah di antara
pepohonan tropis yang rimbun. Dengan lengan panjang dan otot kuat, ia merambat
di ketinggian, jauh dari tanah. Itulah orang utan (Pongo), primata besar yang menjadi simbol hutan hujan
Indonesia dan salah satu makhluk paling cerdas di dunia satwa.
Saat
ini, orang utan hanya dapat ditemukan di sebagian wilayah Kalimantan dan
Sumatra. Padahal, catatan fosil menunjukkan bahwa pada masa Pleistosen, mereka
pernah menjelajahi seluruh Asia Tenggara hingga Tiongkok Selatan. Genus Pongo ini terbagi menjadi tiga spesies: orang
utan Kalimantan (P. pygmaeus), orang utan
Sumatra (P. abelii), dan yang terbaru,
orang utan Tapanuli (P. tapanuliensis),
yang dikonfirmasi sebagai spesies tersendiri pada 2017.
Orang
utan memiliki ciri khas yang mudah dikenali: rambut lebat berwarna cokelat
kemerahan, wajah lebar, dan tubuh besar. Pejantan dewasa dapat mencapai berat
75 kilogram, sementara betina umumnya sekitar 37 kilogram. Pejantan dominan
mengembangkan flensa atau bantalan pipi lebar yang membuat wajahnya terlihat
lebih besar. Suaranya pun khas—teriakan panjang dan dalam yang bergema di
hutan, menandakan wilayah kekuasaan sekaligus memikat betina.
Primata
ini adalah makhluk yang sangat arboreal—mereka menghabiskan hampir seluruh
hidupnya di atas pohon. Dengan jari-jari yang lentur dan lengan yang bisa
menjangkau dua meter, orang utan sangat jarang turun ke tanah. Mereka membangun
sarang baru setiap malam dari ranting dan daun sebagai tempat tidur yang nyaman
dan aman dari pemangsa.
Tak
hanya fisik yang mengagumkan, orang utan juga dikenal karena kecerdasannya.
Mereka mampu menggunakan alat untuk membuka buah berduri, mencari madu, hingga
membuat payung sederhana dari daun. Penelitian menunjukkan bahwa mereka
memiliki bentuk "kultur" atau tradisi unik di setiap populasi—sebuah
tanda kemampuan kognitif yang luar biasa di dunia hewan.
Namun,
di balik semua keistimewaan itu, nasib orang utan kini berada di ujung tanduk.
Ketiga spesiesnya telah masuk dalam kategori "kritis terancam punah"
oleh IUCN. Hutan-hutan yang menjadi rumah mereka terus dirambah untuk
perkebunan kelapa sawit, penebangan liar, serta ekspansi permukiman. Perburuan
untuk dijadikan hewan peliharaan atau untuk diambil dagingnya juga terus
terjadi secara ilegal.
Di
beberapa wilayah Kalimantan dan Sumatra, konflik antara manusia dan orang utan
makin meningkat. Hewan yang tersesat ke kebun warga dianggap hama dan sering
dibunuh. Anak-anak orang utan yang kehilangan induknya karena perburuan
kemudian dijual di pasar gelap sebagai peliharaan eksotik.
Meski
begitu, harapan belum pupus. Organisasi konservasi seperti Borneo Orangutan
Survival Foundation (BOSF), Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP),
dan berbagai lembaga internasional bekerja keras menyelamatkan hewan ini. Upaya
rehabilitasi, penyelamatan dari pasar ilegal, hingga pelepasliaran kembali ke
hutan telah menyelamatkan ribuan individu.
Orang
utan bukan hanya primata besar. Ia adalah penyeimbang ekosistem hutan. Saat
memakan buah dan membuang bijinya di berbagai tempat, orang utan tanpa sadar
membantu regenerasi tumbuhan hutan. Mereka adalah penjaga hutan alami—yang
kelangsungannya juga menentukan nasib ekosistem tropis Indonesia.
“Menjaga
orang utan berarti menjaga hutan. Dan menjaga hutan berarti menjaga kehidupan
kita semua,” ujar Dr. Rina Suryani, peneliti satwa liar dari Universitas
Indonesia. Menurutnya, pelestarian orang utan bukan sekadar tanggung jawab
lembaga, tapi panggilan bagi seluruh masyarakat.
Orang
utan adalah cermin alam liar yang bijak, lambat laun terpinggirkan oleh lajunya
peradaban. Menyelamatkan mereka bukan hanya tentang menjaga spesies, tapi
tentang menghormati kehidupan itu sendiri.
“Orang utan adalah wajah
hutan kita. Jika mereka hilang, kita juga kehilangan warisan alam yang tak
tergantikan,” ujar Dr. Rina Suryani, ahli primata dari Universitas Indonesia.
Penjaga yang Tak Pernah Menyerah
Dalam senyap dan kesendirian, orang
utan tetap bertahan. Mereka tak berteriak minta tolong, tak mengeluh saat
rumahnya dihancurkan. Tapi mereka terus berjuang—di atas dahan, di balik semak,
di dalam hati hutan. Menjaga mereka bukan hanya soal satwa langka, tapi soal
keberlanjutan hidup kita semua.
Selama masih ada yang peduli,
selama masih ada pohon yang berdiri, orang utan masih punya harapan. Dan
bersama mereka, hutan Indonesia masih bisa bernapas.
Komentar
Posting Komentar