Rutinitas, Tantangan, dan Cinta di Balik Pekerjaan Zookeeper Harimau
Jakarta — Bekerja dekat dengan harimau
mungkin terdengar seperti adegan dari film petualangan. Namun bagi Ibnu
Triputra, ini adalah bagian dari rutinitas harian yang sudah ia jalani selama
tiga tahun terakhir sebagai zookeeper di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta
Selatan.
Ibnu mengakui, awal mula menjadi
penjaga harimau bukan perkara mudah. “Pertama kali kerja di sini, saya kaget
banget. Namanya juga langsung berhadapan dengan hewan buas,” tuturnya. “Tapi
ya, semua butuh proses. Saya belajar, beradaptasi, dan sekarang sudah
terbiasa.”
Menurutnya, tantangan utama saat
baru bertugas adalah melawan rasa takut. Tidak semua orang mampu bertahan di
lingkungan kerja yang menuntut keberanian dan ketelitian tinggi seperti ini.
Namun seiring waktu, rasa takut itu berubah menjadi kewaspadaan dan rasa
tanggung jawab terhadap satwa yang ia rawat.
Setiap pagi, sebelum taman dibuka
untuk umum, Ibnu dan rekan-rekannya menjalankan serangkaian prosedur standar
untuk memastikan kesejahteraan satwa. Proses ini dimulai dari memantau kondisi
harimau, termasuk apakah makannya habis, apakah terlihat aktif, dan apakah ada
perubahan perilaku yang mencurigakan.
“Kesehatan satwa itu prioritas.
Kalau dia tidak mau makan, terlihat lesu, atau buang airnya tidak normal, kami
langsung laporkan untuk diperiksa lebih lanjut,” jelasnya.
Tak hanya memperhatikan hewan,
kondisi lingkungan kandang juga tak luput dari pantauan. Para zookeeper
memastikan tidak ada bahaya di dalam kandang, seperti pohon tumbang, pagar yang
rusak, atau benda-benda asing yang bisa membahayakan satwa maupun petugas.
Setelah semuanya aman, barulah kandang dibersihkan dengan air dan disinfektan
untuk menjaga kebersihan dan mencegah penyebaran penyakit.
Dalam hal perawatan medis,
zookeeper juga dilibatkan dalam pemberian obat atau vitamin. Ibnu menjelaskan
bahwa ada dua cara pemberian, yaitu secara oral (diminum) dan injeksi. Namun
pemberian obat secara oral tidak bisa sembarangan.
“Kalau obat cuma kita masukkan ke
daging terus ditinggal, belum tentu dimakan. Bisa saja dia keluarkan lagi dari
mulut. Jadi kami harus benar-benar pastikan obatnya masuk,” kata Ibnu, yang
tampak sudah hafal betul karakter tiap harimau di kandangnya.
Setiap individu harimau memiliki
kebutuhan nutrisi yang berbeda, tergantung usia, aktivitas, dan kondisi tubuh.
Di Ragunan, seekor harimau Benggala bernama Ria, misalnya, mengonsumsi
rata-rata enam kilogram daging setiap hari—campuran antara daging ayam dan
sapi.
“Pemberian pakannya sudah
diformulasikan. Jadi kami nggak asal kasih makan. Ada ahli gizi satwa yang
menentukan jumlah dan jenis daging yang dibutuhkan,” tambahnya.
Meskipun pekerjaannya berat dan
penuh risiko, Ibnu mengaku bangga dengan profesinya. Baginya, menjadi zookeeper
bukan hanya tentang merawat hewan, tapi juga membangun ikatan dan memahami
perilaku mereka.
“Harimau itu makhluk yang sangat
peka. Mereka bisa mengenali kita dari suara, bau, dan cara kita berjalan. Jadi,
penting banget untuk menjalin interaksi yang konsisten dan positif,” tutupnya.
Cerita Ibnu Triputra menggambarkan
bagaimana keberanian, dedikasi, dan kepedulian terhadap satwa liar bisa
mengalahkan rasa takut. Di balik jeruji besi kandang harimau, ada sosok penjaga
yang tak hanya menjaga fisik, tetapi juga jiwa satwa-satwa tersebut.
Komentar
Posting Komentar